BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an Allah SWT turunkan ke dunia melalui Nabi Muhammad SAW untuk
menjadikan penerang bagi dunia, mengeluarkan dari kejahiliyahan dan kebodohan menuju ke tatanan yang terang dan bercahaya[1] Islam
adalah agama Allah yang lurus, yang sejak zaman dahulu di yakini kenbenerannya
oleh beratus juta manusia. Sepanjang sejarahnya dari zaman ke zaman, semenjak
Allah Swt mengutus Rasul pilihanNya Muhammad Saw, ke tengah-tengah kehidupn
sampai saat ini Islam masih tetap diyakini kenenaran ajaran-ajarannya, dan para
pemeluknya tersebar di belahan bumi timur mapun di barat. Mereka yakin bahwa di
dalam agama Allah itu terdapat unsur ajaran yang mendatangkan kebahagiaa hidup
di dunia dan akhirat. Kenyataan tersebut membuktikan kebenaran firman Allah Swt
dalam Al-Qura’an :
Sungguhlah telah datang kepada kalian cahaya (agama) dari
Allah dan kitab yang amat terang dan jelas. Dengan kitab itu lah Allah
melimpahkan hidayat kepada orang-orang yang mengikuti keridhoanNya ke jalan
keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan mereka dari
kegelapan ke cahaya terang benderang atas izin-Nya dan menunjukan jalan yang
lurus kepada mereka (Al-Ma’idah, 15-16).[2]
Tidak
dapat dipungkiri bahwa di dalam Al-Qur’an banyak terdapat hal-hal yang samar
dan global. Sehingga fungsi ideal Al-Qur’an dalam operasional dan realitasnya
tidak bisa diterapkan begitu saja, akan tetapi masih membutuhkan pemikiran yang
mendalam dan analisis untukya. Sehingga keberadaan penafsiran Al-Qur’an adalah
mutlah diperlukan untuk mempermudah dalam memahami isi kandungan Al-Qur’an
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian
Tafsir ?
2. Macam-macam
Tafsir ?
3. Metodelogi
Tafsir ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tafsir
Dalam
bahasa Arab kata tafsir berasal dari akar-kata al-fasr yang berarti : penjelasan atau keterangan, yakni,
menerangkan atau mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas. Keterangan yang
memberikan pengertian tentang sesuatu disebut tafsir. Jadi, keterangan atau
penjelasan itulah yang menyampaikan pengertian tentang sesuatu itu begini atau
begitu. Tafsir al-Qur’anul-Karim
ialah penjelasan atau keterangan tentang firman Allah ‘Azza wa Jalla yang
memberikan pengertian mengenai susunan kalimat yang terdapat dalam Qur’an.
Dalam
Al-Qur’anul Karim,kata tafsir diungkapkan hanya satu kali saja dalam surat
Al-Furqan ayat 33 :
“Tidak orang-orang kafir itu datang
kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu
yang benar paling penjelasannya.” (Q’S. Al-Furqan : 33)[3]
Kata
tafsir sebagai istilah, dikalangan para ulama mempunyai dua makna, makna yang
pertama adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas,. Sedangkan makna
yang kedua mengandung pengertian bahwa tafsir merupakan bagian dari ilmu badi’,
yaitu salah satu cabang ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna
dalam penyusunan kalimat. Tafsir sangat diperlukan karena setiap orang
mengemukakan fikiran dengan cara menyampaikan serangkaian kalimat yang
kadang-kadang tidak akan dapat dimengerti maksud dan tujuannya dengan jelas
tanpa di susul dengan kalimat-kalimat lain yang bersifat menjelaskan.
Sebagian
ulama mengatakan, kata tafsir sebagai
istilah berarti : ilmu tentang turunnya ayat-ayat Qur’an, sejarah dan situasi
pada saat ayat-ayat itu diturunkan, juga sebab-sebab diturunkannya ayat :
meliputi sejarah tetang penyusunan ayat yang turun di Makkah (Makkiyyah) dan yang di Madinah
(Madaniyyah), ayat-ayat yang Muhkamat
(terang dan jelas maknanya) dan yang Mutasyabihat
(yang memerlukan penafsiran atau penta’wilan), ayat-ayat yang Nasikh (menyisihkan) dan yang Mansukh (disihkan), ayat-ayat bermakna
khusus dan bermakna umum, ayat-ayat mutlak dan yang Muqayyad (terikat oleh ayat lainnya), ayat-ayat bersifat Mujmal (garis besar) dan Mufashshal
(terperinci), ayat-ayat yang
menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, ayat-ayat yag menjanjikan pahala dan
memperingatkan akan azab siksa, ayat-ayat bermakna perintah dan yang bermakna
larangan, aat-ayat yang bersifat memberikan pelajaran dan lain sebagianya.
Yang
jelas, kata tafsir dalam agama Islam
secara khusus menunjuk kepada masalah penafsiran Qur’an dan juga tafsir yang
terkenal dengan nama “Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir”.
Adakalanya
kata tafsir diartikan sama dengan
kata ta’wil yang berasal dari
akar-akar al-aulu yang bermakna
”kembali”. Dalam hal ini orang yang menafsirkan ayat Qur’an menguraikannya
sedemikian berupa berdasarkan pokok pengertian yang terkandung di dalam ayat
itu sendiri. Ada juga yang mengatakan bahwa ta’wil
berasal dari akar kata iyalah yang berarti “pengendalian”. Jadi, orang yang
memberikan ta’wil seolah-olah mengendalikan ucapannya dan meletakkan makna
menurut yang semestinya.
Sekali
pun kata ta’wil acapkali diartikan sama dengan tafsir, namun para ulama berbeda
pendapat mengenai hubungan antara kedua kata tersebut : yaitu, apakah keduanya
bermakna satu dan sinonim ataukah masing masing mempunyai arti
sendiri-sendirian ? Sebagian ulama berpendapat bahwa dua kata tersebut
mempunyai satu makna. Ar-Raghib Al-Ashfani berpendapat, tafsir lebih bermakna
umum di banding ta’wil dan lebih banyak dipergunakan untuk menerangkan
mufradatnya (kosakatanya). Sedangkan kata ta’wil lebih bnyak dipakai untuk
menerangkan makna susunan kalimat. [4]
B. Macam-macam
Tafsir
1.
Tafsir
Berdasarkan Sumbernya
Berdasarkan
sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian : Tafsir Bil-Ma’tsur dan
Tafsir Bir-Ra’yi. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkkan tiga bagian yaitu
:
a. Tafsir
Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai
sumber penafsirannya.
b. Tafsir
Bir-Ra’yi adalah tafsir yang menggunkan rasio akal sebagai sumber
penafsirannya.
c. Tafsir
Bil Isyarah, penafsiran Al-Qur’an dengan firasat atau kemampuan intuitif yang
biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh syufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga
disebut sebagai tafsir shufi.
2.
Tafsir
berdasarkan Coraknya
Corak penafsiran yang dimaksud
dalam hal ini adalah bidang keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Jadi ini
terjadi karena mufassir memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda,
sehingga tafsir yang dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu
yang dikuasainya.
Berdasarkan
corak penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam.
Diantaranya sebagai berikut :
a. Tafsir
Shufi/Isyari, Corak penafsiran ilmu tasawwuf yang dari segi sumbernya termasuk
tafsir Isyariy.
b. Tafsir
Fiqhy, corak penafsiran yang lebih banyak menyoroti masalah-masalah fiqih. Dari
segi sumber penafsirannya, tafsir bercorak fiqhi ini termasuk bilma’tsur.
c. Tafsir
Ilmiy, yaitu tafsir yang dalam penjelasannya menggunakan pendekatan filsafat,
termasuk dalam hal ini adalah tafsir yang bercorak kajian ilmu kalam. Dari segi
sumber penafsirannya tafsir bercorak Falsafiini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi.
d. Tafsir
bil Ilmiy, yaitu tafsiryang lebih menekankan pembahasannya dengan pendekatan
ilmu-ilmu pengetahuan umum. Dari segi sumbernya penafsirannya tafsir bercorak
ilmiy ini juga termasuk tafsir bir-Ra’yi.
e. Tafsir
Al-Adab al-ijtima’i, yaitu tafsir yang menekankan pembahasannya pada
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dari segi sumber penafsirannyatafsir
bercorak al-Adab al-Ijtima’ ini termasuk tafsir bir-Ra’yi. Namun ada juga
sebagian ulama yang mengkatagorikannya sebagai tafsir Bil-Izdiwaj (tafsir
campuran) karena prosentase atsar dan akal sebagai sumber penafsiran dilihatnya
seimbang.[5]
C. Metodologi
Tafsir
Metodologi
merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, methodology, yang pada dasarnya
berasal dari bahasa Latin methodus dan logia yang kemudian diserap oleh bahasa
Yunani menjadi methodos yang berarti cara atau jalan dan logos yang berarti
kata atau pembicaraan. Dengan demikian, metodologi merupakan wacana tentang
cara melakukan sesuatu. Dalam bahasa Arab, metodologi diterjemahkan dengan
manhaaj atau minhaaj, seperti halnya yang terdapat pada Surah Al-Maidah Ayat 48
sebagai berikut :
(Dan
Kami telah menurunkan kitab (Al Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa
kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah
dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan. (Qur’an Surah Al-Maidah
Ayat 48).
Adapun dalam bentuk bahasa Indonesia, metodologi diartikan dengan “ilmu atau uraian tentang metode”. Sedangkan metode sendiri berarti “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan”. Menurut Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, dalam pengertian luas, metodologi merujuk pada arti proses, prinsip dan prosedur yang diikuti dalam mendekati persoalan dan menemukan jawabannya.[6]
Adapun dalam bentuk bahasa Indonesia, metodologi diartikan dengan “ilmu atau uraian tentang metode”. Sedangkan metode sendiri berarti “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan”. Menurut Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, dalam pengertian luas, metodologi merujuk pada arti proses, prinsip dan prosedur yang diikuti dalam mendekati persoalan dan menemukan jawabannya.[6]
jika
dilihat dari segi teknis atau cara bagaimana mufassir menjelaskan makna
ayat-ayat Al-Qur’an, maka tafsir itu dapat dikategorikan dalam beberapa macam,
yaitu tahlili, muqaram, mujmal, dan mawdhu’i.
1. Tahlili
(Analitis)
Tafsir
tahlili (analisis) ialah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan susunan ayat dan
surat yang terdapat dalam mushaf. Seorang mufassir, dengan menggunakan metode
ini, mengalasisi setiap kosakata atau lafal dari aspek abahsa dan makna.
Analisi. Dari aspek bahasa meliputi keindahan susunan kalimat, ijdz, badi’,
ma’ani, bayan, haqiqat, majaz, kinayah, isti’drah, dan lain sebagainya. Dan
dari aspek makna meliputi sasaran yang dituju oleh ayat, hukum, akidah, moral,
perintah, larangan, relevansi ayat sebelum dan sesudahnya, hikmah, dan lain
sebagainya.
Metode tahlili merupakan cara yang
dipergunakan oleh para mufassir klasik masa lalu. Di antara buku tafsir yang
menggunakan metode tahlili adalah tafsir Al-Qurthubi, Ibu Katsir, Tafsir Ibnu
Jarir, dan lain sebagainya.
2. Muqaran
(Global)
Secara
harfiah muqran berarti perbandingan, secara istilah, tafsir muqaran berarti
suatu metode atau teknik menafsirkan Al-Qur’an dengan cara memperbandingkan
pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya mengenai tafsir sejumlah
ayat. Dalam perbandingan ini, mufassir menjelaskan kecenderungan masing-masing
mufassir dan mengungkap sisi-sisi subjektivitas mereka, yang tergambar pada
legitimasi terhadap mazhab yang dianutnya, selain itu, tafsir muqaran juga
memperbandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, atau perbandingan antara ayat
dengan hadis. Yang diperbandingkan itu adalah ayat dengan ayat atau ayat dengan
hadis yang memperbincangkan pesoalan yang sama.
Berdasarkan penjelasan di atas,
maka tafsir muqaran dapat dikategorikan kepada tiga bentuk : pertama
memperbandingkan suatu ayat dengan ayat lainnya, kedua memperbandingkan ayat
Al-Qur’an dengan hadis, dan ketika memperbandingkan suatu tafsir dengan tafsir
lainnya mengenai sejumlah ayat yang di tetapkan oleh mufassir itu sendiri.
Ada beberapa tahap yang dilalui dalam
menggunakan metode tafsir muqaran yang memperbandingkan tafsir para ulama
tersebut, yaitu sebagai berikut :
a. Menentukan
sejumlah ayat yang akan ditafsirkan. Penentuan ini, bisa berdasarkan tema atau
lainnya.
b. Mengumpulkan
dan mengemukakan pendapat para ulama tafsir mengenai pengertian ayat tersebut,
baik ulama salaf maupun ulama khalaf dan baik berdasarkan riwayat maupun
ijtihad.
c. Melakukan
analisis perbandingan terhadap pendapat-pendapat para mufassir itu dengan
menjelaskan corak penafsiran, kecenderungan, dan pengaruh mazhab yang dianutnya
yang tergambar dalam penafsiran ayat tersebut.
d. Menentukan
sikap dan menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang
tidak dapat diterimanya. Hal ini tentu saja dengan mengemukakan sejumlah
argumen kenapa ia mendukung suatu tafsir dan menolak yang lainnya.
Jika tafsir muqaran itu memperbandingkan
antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis, maka proses yang perlu
dilalui oleh mufassir itu adalah menentukan ayat-ayat atau hadis yang akan
diperbandingkan itu. Penentuan itu bisa didasarkan atas tema atau lainnya.
3. Ijmali
(Komparatif)
Secara harfiah, kata ijmali berasal dari
ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak terperinci. Maka tafsir
ijmali dapat diartikan kepada penjelasan maksud ayat Al-Qur’an secara umum
dengan tidak memperincinya atau pejelasan singkat tentang pesan-pesan ilahi yang
terkandung dalam suatu ayat. Para mufassir yang menggunakan metode ini
menyajikan kepada pembaca isi kandungan ayat, tanpa mengulas secara luas
sehingga mudah dipahami oleh para pembaca dann mereka merasa penafsiran tidak
jauh dari konteks.
Tafsir
ijmali, biasanya, menjelaskan makna ayat secara berurutan, ayat demi ayat dan
surah demi surah sesuai dengan urutan mushaf usmani. Dan terkadang mufassir
juga menjeaskan sebab turun ayat. Di antara buku tafsir yang menggunkan metode
ini adalah tafsir Al-Jalayn karya Jalaluddin As-Sayuti dan Jalaluddin
Al-Mahallli, Shafwah Al-Bayan li Ma ani Al-Quran karya Husnai Muhammad Makhlut,
dan At-Tafsir Al-Wadhih Karya Muhammad Mahmud Hijazi.
4. Mawdhu’i
(Tematik)
Tafsir
mawdhu’i (tematik) ialah menafsirkan ayat Al-Qur’an tidak berdasarkan atas urutan
ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang
dikaji. Mufassir, dengan menggunkan metode ini, menentukan permasalahan yang
akan dicari jawabannya dalam Al-Qur’an. Kemudian, dia mengumpulan ayat-ayat
yang berkenaan dengan masla’ah tersebut yang tesebar dalam berbagai surah.
Ada
beberapa langkah yang mesti ditempuh seorang mufassir ketika menggunakan teknik
penafsiran ini yaitu :
a. Menentukan
permasalahan atau topik yang akan dikaji.
b. Menentukan
kata kunci mengenai permasalahan itu dan pandangannya dalam Al-Qur’an.
c. Mengumpulan
ayat-ayat yang berbicara mengenai topik tersebut, yang tersebar dalam berbagai
surah.
d. Menyusun
ayat-ayat itu sesuai dengan kronologis turunnya (jika memungkinkan)
e. Menjelaskan
maksud ayat-ayat tersebut bersarkan penjelasan ayat yang lain, perkataan Nabi
Muhammad SAW, sahabat,dan analisi bahasa.
f. Membuat
suatu kesimpulan tentang jawaban permasalahan yang terkandung dalam topik yang
dibahas.
Tafsir tematik dapat pula didasarkan atas suatu
surah, seperti tafsir Surah Al-Baqarah (2). Artinya, nama surah itu dijadikan
tema yang akan diperbincangkan dalam suatu karya tafsir. Karena nama surah
diangkat menjadi suatu tema, mka ayat-ayat yang terdapat di dalamnya
memperbincangkan hal-hal yang berkaitan dengan naam surah tersebut, dan ia
saling berkaitan ntara satu dengan lainnya oleh sebab itu, penafsiran ini mesti
ditunjang oleh ilmu munasabah yang dapat membantu mufassir melihat hunugan atau
keserasian ayat-ayat tersebut. Musthafa Muslim menegaskan bahawa ilmu munasabah
mempunyai hubungan yang erat dengan tafsir maudhu’i khusunya tema suatu surah.
Sebab, ayat-ayat itu diturunkan dalam waktu dan latar belakang yang berbeda
kemudian dimasukkan dalam satu surah. Akan tetapi, ketika dibaca terlihat ayat-ayat
itu berada dalam suatu tema dan yang sama.[7]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-Qur’an
sebagai petunjuk Allah SWT kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sudah
paripurna, dan pelengkap dari kitab-kitab sebelumnya.[8]
Karena Al-Qur’an diturunkan sebagai kitab suci terakhir dan ditunjukan untuk
seluruh manusia tidak terbatas pada suku bangsa atau ras tertentu, tentu masa
keberlakuannya tidak terbatas pada masa tertentu saja namun sampai Hari Akhir.
Denga demikian, AL-Qur’an akan selalu mengikuti perkembangan aman, seiring
dengan perkembangan zaman, metode penafsiran dalam memahami Al-Qur’an juga
telah berkembang pula seperti yang telah diterangkan di atas. Kajian-kajian
tafsir tematik seyogyanya giat dilakukan oleh umat Islam untuk menjawab
permasalahan-permasalahan di masyarakat yang sangat kompleks.
B.
Saran
Menyadari
bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber -
sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah adalah daftar pustaka. Pada kesempatan lain akan saya jelaskan tentang daftar pustaka makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’annul
Karim, 3: 15-16, 14 : 1, 5 : 16, 5 : 44-49, 25 : 33,
Yusuf.
M Kadar, 2009. Studi Alqur’an, Jakarta
: Sinar Grafika Offiset.
Asy-Syirbashi Ahmad, 1996. Sejarah Tafsir Al-Qur’an Jakarta
: Pustaka Firdaus
Rindufidati Metodologi Tafsir (Tahlili, Ijmali,Maudhu’i,
Muqorrin) diakses dari https://
rindufidati.wordpress.com/2015/04/17/metodologi-tafsir-tahliliijmalimaudhuimuqorrin/
pada tanggal (11 Oktober 2017)
Anonim,
“Macam-macam Tafsir”, diakses dari
[1] Al-Qur’an 5 : 16 , 14 : 1
[2] Al-Qur’an
3 : 15-16
[4] Asy-Syirbashi
Ahmad, “Sejarah Tafsir Al-Qur’an” (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996) Hal 5-6
[5] Anonim,
“Macam-macam Tafsir”, diakses dari www.sarjanaku.com/2010/10/macam-macam-tafsir-berdasaarkan.html
pada tanggal 11 Oktober 2017 pukul 9:45 Wib
[6] Rindufidati
“Metodologi Tafsir (Tahlili, Ijmali,Maudhu’i, Muqorrin) diakses dari https://
rindufidati.wordpress.com/2015/04/17/metodologi-tafsir-tahliliijmalimaudhuimuqorrin/
pada tanggal 11 Oktober 2017 Pukul 14:37
[7] Yusuf.
M Kadar, “Studi Alqur’an”, (Jakarta : Sinar Grafika Offiset, 2009) Hal 143-147
[8] Al-Qur’an
5 : 44-49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar